Amalan nama Allah “Allah” dengan mentauhidkan-Nya.
Nama Allah “Allah” seperti yang kita pelajari maknanya adalah Dzat Yang Maha Disembah. Tak ada yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Ketika kita memahami makna nama tersebut, maka kita harus mengamalkan nama tersebut dengan cara kita beribadah kepada Allah dan mengesakan seluruh ibadah kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Tidak berbuat kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Hal tersebut merupakan tujuan diciptakan manusia oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana Allah berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
“Tidak Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk menyembah kepada-Ku” (QS: Adz-Dzâriyât:56)
“Liya’budun” kata Ibnu Abbas artinya liwahidun, yaitu untuk mengesakan Aku, mengesakan Allah. Jadi inilah tujuan manusia diciptakan oleh Allah yaitu untuk mentauhidkan Allah. Maka ketika kita mengenal nama Allah bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak untuk disembah karena agama Islam adalah agama tauhid. Agama yang hanya mengakui adanya satu sesembahan yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka tidak ada yang berhak disembah kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala. Maka kita harus mengesakan Allah di dalam seluruh ibadah kita kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, baik ibadah hati, ibadah lisan, ibadah anggota badan, dan seluruh ibadah-ibadah hanya diberikan kepada Allah.
Tidak boleh memberikan ibadah kepada selain Allah yang disebut dengan kesyirikan. Karena kesyirikan adalah sebesar-besarnya dosa. Ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ditanya, “Dosa apakah yang paling besar?” Beliau mengatakan: “Engkau menjadikan bagi Allah tandingan, sedangkan Allah yang menciptakanmu.” Dosa syirik adalah dosa yang tidak akan diampuni oleh Allah jika orang tersebut mati dalam kesyirikan. Sebagaimana Allah berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. An Nisâ: 48).
Bârakallahu fîkum jamî’an
Ustadz Haidar Andika, Lc